UNTUK SIAPA BANK BANTEN
JUDUL ARTIKEL : UNTUK SIAPA BANK BANTEN Deskripsi : Oleh : Dr. Bambang Dwi Suseno, MM. Diskursus hangat seputar pembentukan Bank Banten menarik untuk dicermati. Bermula dari adanya keinginan agar Banten memiliki bank sendiri. Sebagai sebuah ide memang layak diapresiasi. Namun dalam tataran praksis perlu ditimbang dengan peta dan arena persaingan antar bank eksisting yang telah memiliki jam terbang. Harian Kabar Banten rupanya memiliki perhatian yang tinggi dalam hal ini. Seorang praktisi BPR dan kolumnis produktif Iwan K Hamdan mengajukan pertanyaan apakah Bank Banten menjadi skala prioritas. Selain itu pak Iwan mempertanyakan melalui kolom opini Kabar Banten (11/2) apakah dunia bisnis yang menjadi nasabah bank akan tertarik oleh layanan sebuah bank karena sentimen kedaerahan. Sementara dari kalangan elit DPRD Provinsi Banten sepakat menyokong berdirinya Bank Banten dengan berbagai opsi (Kabar Banten,18/2). Dengan nalar sederhana, sebagai entitas bisnis lembaga bank di Banten tentu telah memiliki jaringan kantor cabang dan penetrasi pasar yang kuat akan mengantisipasi kehadiran pesaing baru. Sebuah bank selayaknya entitas bisnis yang lain pada saat memulai bisnis bukan saja dihadapkan pada persaingan melainkan harus melakukan citra yang terdiferensiasi dibandingkan dengan bank yang telah ada. Opsi pendirian maupun opsi-opsi lainnya yang akan dipilih Pemprov Banten, alangkah eloknya jika pertimbangannya adalah berjalannya intermediasi perbankan untuk menstimulasi sektor ekonomi riil agar terus tumbuh. Bukan sebaliknya mempertinggi porsi pembiayaan sektor konsumsi yang tidak memiliki efek pengganda. Melalui tulisan ijinkan saya untuk memperkaya pandangan yang mungkin bermanfaat melalui 3 skenario melalui uraian berikut. Penguatan Perbankan Publikasi Bank Indonesia akhir tahun 2011, memperlihatkan bahwa di Provinsi Banten terdapat kantor cabang bank devisa 580 buah. Dari jumlah tersebut 36 kantor cabang atau 6,2 persen milik Bank Jabar Banten (BJB). Sementara itu kantor cabang milik bank non devisa sebanyak 49 buah. Jadi total kantor cabang sebanyak 629 buah. Angka tersebut mencerminkan bahwa peta persaingan industri perbankan di wilayah ini sudah amat ketat. Mari kita lihat kinerja operasionalnya. Penyaluran kredit dari bank yang beroperasi di wilayah Provinsi Banten sampai dengan triwulan IV tahun 2011 sebesar Rp 45, 4 trilyun tumbuh sebesar 39,12 persen. Angka tersebut hanya separuhnya bila dibandingkan dengan total penyaluran kredit di Banten yang mencapai Rp 80, 29 trilyun, rupanya mengalami peningkatan dibandingkan waktu sebelumnya. Sementara dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan di wilayah Banten sebesar Rp 62,53 trilyun. Pangsa pasar penguasaan dana pihak ketiga yang terbesar alah bank nasional swasta yaitu 48,70 persen, menyusul bank persero 42, 87 persen. Penguasaan pangsa terkecil dari Bank Jabar Banten (BJB) sebesar 8,43 persen. Pertumbuhan giro dan deposito relatif melambat pada periode laporan dengan level masing-masing sebesar 23,61 persen dan 51,88 persen. Akselerasi pertumbuhan justru terjadi pada komponen tabungan dengan level pertumbuhan sebesar 54,41 persen pada tahun 2011, setelah pada tahun sebelumnya bertumbuh sebesar 41,49 persen. Secara umum belum terdapat perubahan struktur komposisi simpanan pada bank umum di Banten, dengan porsi tertinggi adalah deposito sebesar 46,80 persen tabungan sebesar 33,53 persen dan giro sebesar 19,67 persen terhadap total simpanan. Kinerja penghimpunan dana oleh kelompok bank persero terlihat meningkat cukup pesat dibandingkan dengan bank swasta nasional dan bank pemerintah daerah yang sedikit melambat. Pertumbuhan simpanan/DPK bank persero meningkat signifikan dari sebesar 70,77 persen pada tahun 2010 menjadi sebesar 86,74 persen pada tahun 2011. Namun secara umum, pangsa simpanan bank swasta nasional masih memegang porsi tertinggi terhadap total simpanan bank umum yang berlokasi di Banten disusul bank nasional persero. Pangsa pasar penghimpunan dana pihak ketiga terkecil, sebagaimana pangsa kredit berasal dari bank milik daerah. Mari kita lihat struktur kredit dilihat dari sisi penggunaan kredit. Di Banten kredit konsumsi menempati proporsi terbesar yaitu Rp 26,102 trilyun rupiah atau 57,46 persen. Sementara kredit modal kerja dan investasi yang diharapkan memicu pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja hanya menyerap Rp 15,6 trilyun atau 39,76 persen dan Rp 3, 66 trilyun atau hanya 5,17 persen. Dari rendahnya kredit modal kerja dan investasi tersebut, mencerminkan bahwa kualitas kredit dan proses intermediasi perbankan belum optimal. Hal seiring melambatnya kinerja sektor keuangan maupun perekonomian Banten. Kondisi tersebut tercermin juga dari menurunnya rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) bank umum dari sebesar 73,17 persen pada tahun 2011 menjadi sebesar 72,65 persen. Selain itu, melambatnya kinerja perbankan juga diindikasikan dari melambatnya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR), meskipun tetap tumbuh pada level yang tinggi. Transaksi pembayaran non tunai secara umum belum menunjukkan peningkatan yang signifikan seiring dengan melambatnya kinerja perekonomian Banten. Penggunaan kliring sebagai indikator bergairahnya lalu lintas transaksi antar pengguna jasa perbankan untuk kegiatan bisnis dan transaksi lainnya relatif stabil. Namun demikian penggunaan system pembayaran non tunai Real Gross Settlement (RTGS) masih cenderung melambat yang memberikan gambaran masih tertahannya pertumbuhan ekonomi. Nampak jelas bahwa peran perbankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang kemudian menjadi pendorong sektor ekonomi lain terus bergerak dan tumbuh. Membaiknya performa berbagai komponen produk domestik regional bruto (PDRB) sisi permintaan maupun penawaran diprakirakan akan mendorong kinerja perekonomian Banten meningkat pada kisaran level 6,56 persen 6,60 persen. Kinerja sektor utama perekonomian Banten, pada tahun 2011 meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan motor utama tetap berasal dari sektor industri pengolahan yang juga diiringi oleh meningkatnya kinerja sektor-sektor pendukung. Hampir seluruh sektor secara umum tumbuh meningkat kecuali sektor listrik, gas dan air bersih serta sector pertambangan dan penggalian. Sementara itu kecenderungan meningkatnya konsumsi, investasi dan belanja pemerintah pada triwulan mendatang diprakirakan menjadi komponen-komponen yang mendukung peningkatan kinerja ekonomi Banten. Peningkatan kinerja ekonomi, meningkatnya potensi daya beli. Melalui data empiris seperti telah saya singgung diatas, terlebih dengan fakta bahwa pangsa pasar baik dana pihak ketiga yang dihimpun maupun kredit yang disalurkan bank milik daerah serta jaringan kantor cabang untuk berpenetrasi terhadap nasabah masih dibawah 10 persen. Fakta ini tentu akan menyulitkan untuk bersaing secara seimbang. Jika BJB saja demikian akankan bank daerah yang baru hadir mampu mengarungi lautan persaingan yang penuh ombak? Sikronisasi APBD vs Ekspansi Kredit Kita tentu berbangga bahwa kinerja investasi Banten cenderung meningkat dari waktu kewaktu terutama dari sisi investasi swasta, meskipun kadang-kadang melambat. Jika terjadi sedikit perlambatan pertumbuhan nilai tambah produksi yang dihasilkan hal itu disebabkan meningkatnya harga bahan baku, energi dan transportasi. Dari data historis investasi swasta selalu tumbuh stabil dengan kecenderungan meningkat pada 2011 lalu, dibandingkan dengan data tahun sebelumnya. Peningkatan investasi diperkirakan masih dikontribusikan terutama dari sektor industri pengolahan baik karena adanya peningkatan kapasitas maupun investasi baru. Sebagai contoh salah satu perusahaan kimia besar di Banten berinvestasi dalam bentuk peningkatan kapasitas terpasang pabriknya hingga mencapai hampir 2 kali lipat dari kapasitas awal yang sebesar 160.000 metrik ton per tahun. Perusahaan baja besar di Banten juga telah menginvestasikan dana sekitar USD 100 juta dalam proses pembebasan lahan dengan luas sekitar 388 ha untuk persiapan pembangunan pabrik masih terus berjalan dan ditargetkan dapat selesai pada akhir Triwulan II 2011 untuk memulai proses pembangunan pabrik. Kecenderung meningkatnya investasi juga dapat dilihat dari beberapa indikator. Indeks tendensi bisnis nasional yang cenderung meningkat pada triwulan laporan mencerminkan ekspektasi pelaku usaha yang membaik terhadap kondisi bisnis secara umum yang mendorong potensi peningkatan investasi. Indikator lain untuk mengukur meningkatnya investasi juga terlihat dari penggunaan/konsumsi semen di wilayah Banten. Dari sektor pengeluaran pemerintah kita tersua data historis pada tahun 2010 dan tahun 2011. Realisasi pendapatan daerah Provinsi Banten pada triwulan II 2011 relatif tinggi mencapai 59,53 persen namun sedikit lebih rendah dibandingkan triwulan II 2010 dengan persentase realisasi mencapai 63,18 persen. Realisasi perolehan pendapatan tertinggi tetap berasal dari komponen Pendapatan Asli Daerahsebesar Rp 1,36 triliun atau sekitar 65,49 persen dari target di tahun 2011. Realisasi belanja daerah pun masih cenderung selama ini tertahan hingga triwulan II 2011 sebesar Rp 956,85 miliar atau sekitar 27,45 persen dari pagunya di tahun 2011. Sementara itu realisasi belanja daerah triwulan II 2010 lebih cepat dengan persentase sebesar 35,45 persen terhadap pagu belanja tahun 2010. Sedikit melambatnya perekonomian Banten pada triwulan II 2011 diperkirakan belum berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi ketenagakerjaan di wilayah ini. Dengan demikian meningkatnya investasi pada triwulan laporan dengan pertumbuhan sekitar 8,26 persen pada tahun 2010 dibandingkan 2011 sebesar 6,23 persen akan dapat menahan penurunan angka indikator kondisi ketenagakerjaan yaitu Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) Banten. Pada aspek konsumsi pemerintah, realisasi belanja pemerintah daerah biasanya mulai lancar hingga triwulan II setiap tahun. Berdasarkan pola realisasi belanja pemerintah daerah hingga pertengahan tahun, pada umumnya, terjadi percepatan realisasi fiskal untuk belanja pembangunan terutama untuk keperluan pembangunan infrastruktur maupun pelaksanaan program-program lainnya. Jika keinginan Pemprov Banten untuk meningkatkan efektivitas penggunaan APBD, berhasil mengimplementasikan sistem evaluasi pelaksanaan pembangunan dengan model dynamic system, maka realisasi penggunaan APBD akan semakin terukur baik dari sisi waktu maupun hasilnya. Dari sudut pandang tersebut yang diperlukan untuk menjaga dinamika pertumbuhan ekonomi khususnya investasi pada sektor riil adalah adanya sinkronisasi antara APBD sebagai alat pendorong belanja sektor publik utamanya infrastruktur dengan rencana bisnis (business plan) perbankan. Salah satunya setiap memasuki semester kedua setiap tahunnya Bappeda Provinsi Banten dan Bappeda Kabupaten/Kota dengan dokumen draft RAPBD difasilitasi Bank Indonesia dipertemukan dengan perbankan. Dengan demikian maka perbankan akan memiliki gambaran yang jelas untuk menyusun rencana bisnis tahun yang akan datang, dengan obyek yang terang benderang. Pemprov Banten dan Pemkab/Pemkot akan diuntungkan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan investasi dan modal kerja dari perbankan. Jika sekarang pemerintah jalan sendiri maka perbankan sulit memprediksi arah perkembangan pembangunan, karena itu tentu yang dibutuhkan adalah sinkronisasi. Penguatan dan Penetrasi BPR Perkembangan BPR pada tahun 2011 di wilayah Banten relatif stabil dengan kecenderungan membaik. Kondisi ini tercermin dari membaiknya ekspansi kredit, rasio LDR dan kualitas kredit. Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga yang melambat disebabkan persaingan yang semakin ketat dengan bank umum yang terus gencar membuka jaringan kantornya. Penyaluran Kredit Usaha Rakyat/KUR di Provinsi Banten hingga akhir tahun 2011 sedikit melambat namun tetap menunjukkan pertumbuhan yang signifikan meskipun terdapat penambahan bank penyalur KUR sejak awal 2011. Potensi BPR sebagai rural bank (bank pedesaan) sangat penting bagi sektor ekonomi skala mikrodan kecil. Namun demikian kadang terjadi paradoks akan peran BPR. Kalau boleh meminjam lagu Ari Wibowo madu dan racun, BPR seperti madu ditangan kanan dan racun ditangan kiri. BPR seperti madu yang berarti manfaat dan memberi nilai tambah bagi pengembangan usahanya. Pinjaman dari BPR akan mendorong usaha nasabah semakin meningkat, omset bertambah, dan keuntungan melimpah. Itu artinya kredit yang diberikan Bank dapat menjadi madu bagi nasabah. Tapi sebaliknya, kredit BPR bisa menjadi racun karena setelah pinjam BPR yang bunganya lebih tinggi dibanding bank umum konvensional maupun syariah. Usaha nasabah yang diharapkan menjadi besar menjadi tersendat, angsuran meningkat, bahkan bisa jadi usahanya bisa sekarat. Kejadian yang menimpa nasabah tersebut pada akhirnya berimbas meracuni Bank, karena dengan tersendatnya usaha biasanya akan berakibat pada terhambatnya angsuran. Memang pada beberapa kasus ada nasabah yang usahanya bangkrut, tapi angsurannya tetap lancar yang bisa digambarkan sebagai racunnya nasabah tapi madunya bank, karena mungkin nasabah memiliki itikad dan karakter yang baik. Tetapi hal ini tentu tidak diinginkan oleh nasabah maupun bank. Sampai saat sekarang di wilayah Provinsi Banten kredit menjadi tumpuan pendapatan operasional dari bunga yang dibayar oleh nasabah. Rata-rata 80 persen pendapatan BPR adalah bersumber dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan. Keadaan ini membutuhkan langkah terobosan jika pemerintah daerah berniat sungguh-sungguh untuk memperkuat sektor mikro di pedesaan. Mari lihat struktur kepemilikan BPR yang dimiliki perusahaan daerah kabupaten se Provinsi Banten. Perusahaan daerah (PD) BPR Serang saham milik Pemprov Jawa Barat 12,10 persen, Pemprov Banten 16,40 persen, BJB 8,40 persen dan sebagai pengendali Pemkab Serang yang menguasai 63,10 persen. Pemkab Pandeglang memiliki BPR LPK Saketi dimana saham Pemprov Banten sebesar 15 persen. Penempatan saham Pemprov pada BPR milik Pemkab Lebak berada di BPR LPK Warungunung dan BPR LPK Cipanas sebesar masing-masing 15 persen. Sedangkan penempatan saham lebih besar yaitu 19,05 persen ditempatkan pada BPR LPK Malimping. Untuk PD BPR Kerta Raharja milik Kabupaten Tangerang saham Pemprov sebesar 15 persen. Peta komposisi saham dan penyebaran BPR pada wilayah 4 kabupaten tersebut sudah memosisikan jangkauan pelayanan pada wilayah pedesaan yang dibutuhkan agar perekonomian skala mikro dan kecil tumbuh dan semakin kuat. Sementara wilayah perkotaan sudah dilayani bank nasional dan BJB. Langkah cerdas yang dapat dilakukan adalah memperkuat struktur modal BPR dan akses pada sumber dana murah. Singapura negara yang kecil itu makmur dan memiliki industri keuangan yang tangguh bukan dengan kepemilikan bank terpaku di dalam negeri, tetapi ekspansi dengan kepemilikian portofolio (bukan bank tunggal) melainkan pada berbagai bank di beberapa negara, termasuk di negara kita. Danamon 68,83 persen dimiliki oleh Temasek Holding – Singapura, Bank Buana 61 persen dimiliki oleh UOB Singapura, UOB Indonesia 100 persen dimiliki oleh UOB Singapura, NISP 72 persen dimiliki oleh OCBC Singapura, OCBC Indonesia 100 persen dimiliki oleh OCBC Singapura. Negara jiran kita lainnya Malaysia menguasai CIMB Niaga 60,38 persen dikuasai oleh CIMB group Malaysia, Bumiputera 58.32 persen dikuasai oleh Che Abdul Daim Malaysia, BII 55,85 persen dikuasai oleh Maybank Malaysia. Selayaknya Pemprov Banten cerdik dan serius mempelajari strategi dari para pemain global tersebut. Jadi, jika penjual sate tersebar di seantero Banten dan mampu menyajikan sate yang enak, mengapa harus ngotot ingin punya kambingnya juga?
*) Mantan praktisi bank, pengkaji strategi pada Piksi Input, anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Banten.
***** |